Budaya Multikultural Hadapi Tantangan

Budaya Multikultural Hadapi Tantangan
 
Budaya Multikultural Hadapi Tantangan

BANDUNG, KOMPAS.com — Budaya Nusantara Indonesia pada dasarnya senantiasa terbuka untuk menerima aneka budaya dari suku-suku bangsa dan peradaban dunia. Sayangnya, budaya multikultural bangsa ini belumlah menjadi kekuatan dan keunggulan bagi Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan maju di dunia.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik.
Indonesia sebagai negara multikultural yang biasa hidup dalam perbedaan dan saling menerima justru mulai mengembangkan hidup dalam permusuhan dan saling benci. Ada pemaksaan kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural dijalankan dengan kebudayaan monolitik dari kelompok dominan.
Persoalan ini mengemuka dalam seminar nasional bertajuk "Peran Kebudayaan untuk Kemajuan Bangsa" di Bandung, Selasa (8/5/2012). Seminar digelar Nabil Society bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan dan Harian Kompas
"Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik," kata Yudi Latif dari Reform Institute.
Menurut Yudi, tantangan demokrasi Indonesia ke depan bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu ataupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arie Indra Chandra, pengajar di Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan, banyaknya suku dengan kekhasan budayanya sebenarnya membuka peluang terjadinya budaya Indonesia yang lebih kaya, lebih kenyal, serta lebih terbuka dalam melakukan perubahan.
Demi kejayaan Indonesia, harus dipilah-pilah unsur-unsur budaya yang diperlukan bagi pembangunan menuju kemakmuran. "Sayang, persilangan budaya dari apa yang dimiliki sendiri oleh bangsa ini untuk membentuk budaya unggul tidak terjadi. Yang ada, justru terbentuk budaya kalah yang bangga pada kebudayaan lain," ujar Arie.
Yasraf Amir Piliang, pengajar di Institut Teknologi Bandung, mengatakan, saat ini terlihat tidak ada keinginan untuk melakukan silang budaya. Masyarakat Indonesia berada dalam "jarak" kultural.
Situasi kehidupan bangsa saat ini justru memelihara ketertutupan, tidak berdialog atau berkomunikasi. Akibatnya, selalu timbul konflik dan kecurigaan.
Oleh karena itu, kunci dalam kehidupan bangsa plural dalam menjaga keberlanjutan sebagai suatu bangsa seharusnya ada keinginan untuk memahami dan memperlakukan orang lain dengan baik dan setara supaya tidak terjadi konflik, permusuhan, dan kekerasan lintas budaya.

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 19:30 WIB
    Kata Arie, "Yang ada, justru terbentuk budaya kalah yang bangga pada kebudayaan lain." Ya introspeksi: salah satu pengertian budaya adalah cara berpikir, bertindak dan bermasyarakat dengan bahasa tulis dan lisan. Ya kita mulai dari diri kita dan rumah tangga kita untuk menyintai budaya kultur Nusantara Indonesia lebih daripada lainnya. Ya, wong jawa sing njawani. Wong Batak ya pada Hurias bah... begitupula yang Bali dan Sulawesi, dsb.nya dari Sabang s/d Merauke. Semogalah dasar Pancasila dan Bhinneka…
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 19:26 WIB
    Budaya Multikultural udah di control ama Ormas2nya yg selalu main hukum sendiri. hanya di negara ini yg suku , agama bisa conflik oleh karena hukum negara udah tidak di taati lagi.
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 18:35 WIB
    ormas-ormas bersenjata itu dapat setoran dari tiap angkot 22rb/hari, kalikan ribuan jumlah angkot di jakarta bisa dibayangkan berapa yang didapat. Belum lagi setoran dari toko-toko, warung makan dan kantor-kantor. Setoran dari alfamart kecil saja bisa mencapai 400rb/bulan apalagi dari kantor2 besar. Tentunya yang menikmati bapak-bapak polisi yang rekeningnya gendut-gendut itu. makanya gak heran sekarang banyak sekali polisi dengan duit berlimpah mampu mencalonkan diri jadi bupati, gubernur bahkan…
Budaya Multikultural Hadapi Tantangan
 
Budaya Multikultural Hadapi Tantangan

BANDUNG, KOMPAS.com — Budaya Nusantara Indonesia pada dasarnya senantiasa terbuka untuk menerima aneka budaya dari suku-suku bangsa dan peradaban dunia. Sayangnya, budaya multikultural bangsa ini belumlah menjadi kekuatan dan keunggulan bagi Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan maju di dunia.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik.
Indonesia sebagai negara multikultural yang biasa hidup dalam perbedaan dan saling menerima justru mulai mengembangkan hidup dalam permusuhan dan saling benci. Ada pemaksaan kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural dijalankan dengan kebudayaan monolitik dari kelompok dominan.
Persoalan ini mengemuka dalam seminar nasional bertajuk "Peran Kebudayaan untuk Kemajuan Bangsa" di Bandung, Selasa (8/5/2012). Seminar digelar Nabil Society bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan dan Harian Kompas
"Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik," kata Yudi Latif dari Reform Institute.
Menurut Yudi, tantangan demokrasi Indonesia ke depan bagaimana mewujudkan pengakuan politik dan politik pengakuan yang menjamin hak individu ataupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arie Indra Chandra, pengajar di Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan, banyaknya suku dengan kekhasan budayanya sebenarnya membuka peluang terjadinya budaya Indonesia yang lebih kaya, lebih kenyal, serta lebih terbuka dalam melakukan perubahan.
Demi kejayaan Indonesia, harus dipilah-pilah unsur-unsur budaya yang diperlukan bagi pembangunan menuju kemakmuran. "Sayang, persilangan budaya dari apa yang dimiliki sendiri oleh bangsa ini untuk membentuk budaya unggul tidak terjadi. Yang ada, justru terbentuk budaya kalah yang bangga pada kebudayaan lain," ujar Arie.
Yasraf Amir Piliang, pengajar di Institut Teknologi Bandung, mengatakan, saat ini terlihat tidak ada keinginan untuk melakukan silang budaya. Masyarakat Indonesia berada dalam "jarak" kultural.
Situasi kehidupan bangsa saat ini justru memelihara ketertutupan, tidak berdialog atau berkomunikasi. Akibatnya, selalu timbul konflik dan kecurigaan.
Oleh karena itu, kunci dalam kehidupan bangsa plural dalam menjaga keberlanjutan sebagai suatu bangsa seharusnya ada keinginan untuk memahami dan memperlakukan orang lain dengan baik dan setara supaya tidak terjadi konflik, permusuhan, dan kekerasan lintas budaya.

Ada 3 Komentar Untuk Artikel Ini.
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 19:30 WIB
    Kata Arie, "Yang ada, justru terbentuk budaya kalah yang bangga pada kebudayaan lain." Ya introspeksi: salah satu pengertian budaya adalah cara berpikir, bertindak dan bermasyarakat dengan bahasa tulis dan lisan. Ya kita mulai dari diri kita dan rumah tangga kita untuk menyintai budaya kultur Nusantara Indonesia lebih daripada lainnya. Ya, wong jawa sing njawani. Wong Batak ya pada Hurias bah... begitupula yang Bali dan Sulawesi, dsb.nya dari Sabang s/d Merauke. Semogalah dasar Pancasila dan Bhinneka…
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 19:26 WIB
    Budaya Multikultural udah di control ama Ormas2nya yg selalu main hukum sendiri. hanya di negara ini yg suku , agama bisa conflik oleh karena hukum negara udah tidak di taati lagi.
  • Selasa, 8 Mei 2012 | 18:35 WIB
    ormas-ormas bersenjata itu dapat setoran dari tiap angkot 22rb/hari, kalikan ribuan jumlah angkot di jakarta bisa dibayangkan berapa yang didapat. Belum lagi setoran dari toko-toko, warung makan dan kantor-kantor. Setoran dari alfamart kecil saja bisa mencapai 400rb/bulan apalagi dari kantor2 besar. Tentunya yang menikmati bapak-bapak polisi yang rekeningnya gendut-gendut itu. makanya gak heran sekarang banyak sekali polisi dengan duit berlimpah mampu mencalonkan diri jadi bupati, gubernur bahkan…
.

ISD SEBAGAI MKDU

PERLU PRADIGMA BARU UNTUK TINGKATKAN KULITAS PENDIDIKAN..





Sindonews.com - Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan cara dan tindakan yang inovatif. Selain itu harus ada perubahan paradigma baru dari para guru dalam mengajar atau mendidik muridnya.

Hal itu dikatakan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Djamaludin Ancok. Menurutnya, para guru harus diperkenalkan dengan paradigma baru mengenai cara belajar yang menyenangkan.

"Dengan begitu, tanpa disuruh pun siswa akan senang belajar. Pada para guru wajib ditanamkan kebanggaan dan rasa berguna berprofesi sebagai guru. Karena mereka sebenarnya adalah penerus pahlawan penegak negara," kata Djamaludin Ancok di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Yogyakarta, Senin 1 April 2013.

Tak hanya itu, kurikulum 2013 menurut Ancok justru tidak logis dari sisi tata bahasa. Dengan bahasa yang kacau balau tersebut, ia sangsi jika para guru mampu mengimplementasikannya. Ia pun mengungkapkan belum memahami apa alasan pemerintah mengubah kurikulum.

"Harusnya ada evaluasi terhadap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan pendataan sisi buruk dan sisi baiknya. Lalu dibuat kajian yang kemudian diverifikasi oleh banyak orang, mulai dari masyarakat sampai tim independen.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam pemberian materi, kalau alasannya hanya materi pelajaran yang terlalu membebani, tinggal dihapus saja apa yang menjadi beban siswa.
PERLU PRADIGMA BARU UNTUK TINGKATKAN KULITAS PENDIDIKAN..





Sindonews.com - Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan cara dan tindakan yang inovatif. Selain itu harus ada perubahan paradigma baru dari para guru dalam mengajar atau mendidik muridnya.

Hal itu dikatakan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Djamaludin Ancok. Menurutnya, para guru harus diperkenalkan dengan paradigma baru mengenai cara belajar yang menyenangkan.

"Dengan begitu, tanpa disuruh pun siswa akan senang belajar. Pada para guru wajib ditanamkan kebanggaan dan rasa berguna berprofesi sebagai guru. Karena mereka sebenarnya adalah penerus pahlawan penegak negara," kata Djamaludin Ancok di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Yogyakarta, Senin 1 April 2013.

Tak hanya itu, kurikulum 2013 menurut Ancok justru tidak logis dari sisi tata bahasa. Dengan bahasa yang kacau balau tersebut, ia sangsi jika para guru mampu mengimplementasikannya. Ia pun mengungkapkan belum memahami apa alasan pemerintah mengubah kurikulum.

"Harusnya ada evaluasi terhadap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan pendataan sisi buruk dan sisi baiknya. Lalu dibuat kajian yang kemudian diverifikasi oleh banyak orang, mulai dari masyarakat sampai tim independen.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam pemberian materi, kalau alasannya hanya materi pelajaran yang terlalu membebani, tinggal dihapus saja apa yang menjadi beban siswa.
.

ViralGen Referral Shopping
ViralGen Referral Shopping